Dewa, Jingga ( Saat Hujan Turun )


Katanya jejaring sosial adalah pilihan terbaik untuk menemukan seseorang yang telah lama hilang. Entah hilang dari kehidupanmu, atau hatimu. Tapi bagaimana jika seseorang itu tidak memilikinya? Masihkan jejaring sosial mampu mempertemukan?

Sesering apapun aku mencoba mencari namanya dibeberapa jejaring sosial yang sedang melambung akhir-akhir ini, tetap saja hasilnya nihil. Tidak tahu akan sampai kapan aku begini, memang tolol. Menunggu, menunggu dan menunggu. Tak jauh beda dengan remaja lainnya, padahal aku sendiri begitu benci jika disebut demikian.
Rasanya memang sudah terlalu lama. Sekitar empat tahun kiranya. Apalagi yang harus kupastikan, merpatipun tak pernah membawa kabar. Sepertinya ini akan menjadi ujung penantian. Tapi.. ah lagi-lagi setiap kurasa ingin melakukannya, ada sesuatu yang mencoba menahanku.

“kamu jadi ke toko musik? Kalau jadi, aku nitip novel ya, tokonya kan sebelahan tuh..”
Aku hanya tersenyum.

Akhirnya aku menemukan novel pesanan temanku, Nidia. Aku membaca sinopsis belakang buku, dengan sedikit menggerutu. Bagaimana tidak, sudah bejam-jam lamanya aku mencari untuk novel tentang pecintaan yang membosankan. Tapi sedetik kemudian aku tersenyum untuk kebodohan yang aku lakukan barusan. Kenapa aku tidak bilang saja kalau bukunya habis, batinku. Ah sudahlah mungkin ini memang keberuntungannya.
Aku menoleh ke kanan dengan segaris senyum yang masih tersisa dibibir. Astaga... hampir mati rasanya, dia benar-benar berhasil membuatku jantungan. Tubuhnya tinggi, sedikit kurus, putih. Wajahnya, seperti ku kenal tapi...entahlah. aku tidak bisa mengingat apa-apa dengan detak jantung yang belum kembali normal seutuhnya. Dia tersenyum sambil melirik buku yang kupegang.
“ah ini. Ini untuk temanku, dia menitipnya tadi” aku nyengir. Betapa malunya aku sedang memegang buku ini.
“memangnya apa yang salah dengan buku itu?”tanyanya kemudian. Suaranya benar-benar membuat jantungku kembali berdetak hebat, namun kali ini karena sebab lain.
Aku mengernyitkan kening kemudian meninggalkannya.

Orang itu kenapa sih, kenapa dia harus bertanya seperti tadi. Membuatku mati kutu saja, gerutuku.
aduh diman ya...aha! untung saja ada. Sesaat aku meloncat kegirangan.
“ oh jadi kamu suka musik dia? Atau hanya ikut-ikutan?” tiba-tiba seseorang bicara tepat ditelingaku. Aku membalikan badan, terperanjat kaget. Dan hampir tersungkur namun dia menarik tanganku cepat. Deg.
“ kamu lagi?”
“ kenapa memangnya?”
“untuk apa disini?”
“menurut kamu?”
ah lagi-lagi dia membuatku salah tingkah. Suruh siapa aku menanyakan hal bodoh seperti itu. Tentu saja akan membeli kaset alasannya. Kali ini aku benar-benar malu. Daripada menjawab pertanyaannya lebih baik aku cepat mebayar dan pergi. Ah sial kali hari ini.
“tunggu!” panggilnya seraya mendekat. “nama kamu?”
“Jingga! Untuk apa?”
“oke, sampai jumpa Jingga. Oiya satu lagi, apa kalau aku menanyakan nomer hpmu, akan kau berikan semudah itu juga?”
“hah?”
Sesaat dia tersenyum dan meninggalkanku. Baiklah ini akan menjadi kesialan ku yang kesekian  bertemu dengannya.

Malam ini begitu sulit rasanya untukku terlelap. Sedikit pun enggan untuk menutup.  Padahal setetes kopipun tidak menyentuh lidahku. Jarum jam menunjukan angka 12. Sudah terlalu larut. Tapi seseorang masih dalam diam, hanya menerawang langit-langit kamar. Seolah sedang menonton film tentang dirinya semasa lalu,  bersama seorang pria. Tentu saja itu aku.
Tapi film itu justru berubah. Bukan lagi dia yang dulu tapi dia yang tadi.

Tak tahu apa sebabnya, semenjak hari itu aku lebih sering ke toko buku dan toko musik. Tapi tidak membeli satupun. Terakhir aku sadar, kalau dialah alasannya. Dia yang begitu menyebalkan pada akhirnya justru membuatku penasaran.
Kini aku tidak kembali setiap hari, hanya hari kamis. Karena hanya hari itulah dia kesana. Tentu saja aku tahu. Sudah lebih dari dua bulan aku memasukan perjalanan ini sebagai rutinitas baruku. Setiap kali bertemu dengannya aku selalu berbohong, menganggapnya sebagai kebetulan. Bagaimana bisa ini kebetulan?aku selalu menunggumu sejak pulang sekolah, batinku.  Pernyataan itu ku utarakan pastinya dengan alasan. Aku begitu menyukai saat dia menjawab “mungkin semesta sudah menakdirkan kita, mungkin kita jodoh”. Aku hanya tertawa. Ya,mungkin.
Hari ini memang bukan kamis. Tapi aku datang ke toko buku. Dia yang menginginkannya. Katanya, dia ingin memberitahu sesuatu. Sepanjang jalan, aku hanya menerka apa yang akan dikatakannya. Mungkinkah rahasia dalam hidupnya? Atau mungkin... pernyataan cinta? oh tidak, terlalu jauh anganmu. Pemikiran ini hanya membuatku terlihat bodoh, tertawa sendiri dijalan.

Harusnya dia sudah disini sejak dua jam yang lalu. Tapi dimana dia? Apa aku pulang saja? Aku ingin sekali menghubunginya, tapi kami belum pernah bertukar nomor telepon. Ah sial. Sebaiknya aku pulang. Aku bisa kembali lagi besok, tidak, hari kamis. Ya tentu saja hari itu.


Malam ini begitu sulit rasanya untukku terlelap. Sedikit pun enggan untuk menutup.  Padahal setetes kopipun tidak menyentuh lidahku. Jarum jam menunjukan angka 12. Sudah terlalu larut. Tapi seseorang masih dalam diam, hanya menerawang langit-langit kamar. Seolah sedang menonton film tentang dirinya semasa lalu,  bersama seorang pria. Tentu saja itu aku.
Kenapa disaat seperti ini turun hujan. Biar bagaimanapun juga aku harus menemuinya. Ada janji yang harus kutepati dan ada kata yang harus kudengar, darinya ditoko buku. Ah jangankan hujan, badaipun kan ku terjang. Tak ingin aku melewatkan untuk kedua kalinya. Lagipula aku harus memastikan apa yang akan kau katakan atau aku akan mati penasaran.
Aku menemukannya. Seseorang yang akan langsung kutanya nama dan segala tentang dirinya. Takkan ku beri dia kesempatan untuk bertanya hal lain selain yang kutanyakan.
Langkahku terhenti. Ku perhatikan dengan seksama. Bersama siapa dirinya? Oh tidak... sepertinya pandanganku sudah kabur. De..Dewa? tak mungkin. Sedang apa dia disini? Dengan laki-laki itu pula. Mereka melambai padaku. Kaki ini begitu berat rasanya untuk melangkah. Benar-benar tak bisa. Seperti ada jutaan batu bersantai diatasnya.
Mereka menghampiriku. Sebelum dia bertanya macam-macam, kuajukan pertanyaan terlebih dahulu. “namamu?” dia mengernyitkan kening “ya, namamu siapa?”
“ tak bisakah kau mengenaliku? Lihatlah, wajah kami sama. Hanya saja dia aku saat empat tahun lalu. Namaku...”
aku menatap dia dan anak berusia sekitar dua belas tahun disampingnya.

Aku terbangun dari tidur dengan keringat disekujur tubuh. Hanya mimpi? Oh tidak. Betapa bodohnya aku, aku memang tolol. Tak pernah sadar tentang ini.

Hari ini aku berniat meliburkan diri. Tentu saja orang tuaku tidak mengetahuinya. Yang mereka tahu aku pergi sekolah. Terlalu pagi untuk berada ditoko buku. Bahkan toko bukunya sendiripun belum buka. Tak apa, biar ku tunggu.
Waktu menunjukan pukul lima sore. Tapi dia...dia belum juga datang. Ini memang tak adil. Kenapa aku harus menyadarinya sekarang?dia yang akhir-akhir ini bersamaku adalah orang yang selalu kutunggu sebelumnya. Andaikan waktu menginzinkanku bertemu dengannya, aku pasti... bahkan aku tak tahu harus mengucap apa.

Hari berganti hari. Aku selalu menunggunya ditoko buku. Bukanlagi hanya kamis, melainkan setiap hari. Aku percaya hujan akan mempertemukan kami. Hujan ditoko buku, seperti saat dia akan menyatakan kenyataanya. Tapi sesering aku kesini, dia takkan pernah kembali. Tak akan. Tak pernah.
Mimpi itu akan menjadi penghubung antara aku dengan dia. Mimpi yang juga menjadi salam perpisahan antara kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar