Abinaya (Cerpen)




Sudah hampir setahun, Abin tak berkunjung ke Jakarta. Padahal biasanya ia selalu rutin menemuiku setiap tiga bulan sekali. Bahkan sekalipun hanya sekedar bertatap muka. Kami memang saling menelepon, tapi tak pernah berani untuk kutanyakan soal itu. Aku takut, pertanyaan itu akan menjadi beban baginya. Karena yang ku ingat, dia pernah bercerita untuk mulai menulis skripsinya dalam waktu dekat ini. Mungkin itu alasannya. Saat itu, Abin juga pernah sekali tak mengunjungiku hampir 6 bulan, dan dia menceritakan alasannya. Karena bagaimanapun juga, ‘ke Jakarta’ bukanlah hal yang bisa ia lupakan begitu saja. Pasti ada yang tidak beres dengannya kali ini.

Video call dari Abin membuyarkan lamunanku. “Hai Rin, bagaimana harimu tadi?” “Kau pasti bercanda. Kau ingatkan hari apa ini?” jawabku jengkel. “Oh iya aku lupa. Selasa kan musuhmu hahaha. Lagipula mau sampai kapan sih Rin kamu membenci mata kuliah hari ini?”tanya Abin. “tentu saja sampai dosen itu musnah dari kampusku atau kalau bisa dari muka bumi ini” mataku tertuju pada buku-buku yang berantakan di lantai tepat dibelakang dia “Bin... kamu sudah mulai skripsi ya?”. “hmm... begitulah Rin. Memangnya kenapa? Suaramu terdengar kecewa” Abin mendekatkan wajahnya ke layar laptop. “ begini... apa itu artinya kau tidak akan ke Jakarta dalam waktu dekat ini?” tanyaku ragu. Abin hanya terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia mulai bicara “ maaf Rin, sepertinya untuk beberapa bulan ini aku ingin mulai fokus mengerjakan skripsiku. Kau paham kan maksudku? Tak apa kan Rin?”suaranya terdengar penuh sesal. “kalau begitu bagaimana kalau aku yang berkunjung ke Malang? Sudah lama aku ingin sekali kesana. Bagaimana? Ya sekalian menemanimu mengerjakan skripsi”. Abin tak menjawab, dia hanya menunduk untuk beberapa saat. Dari caranya, aku tahu benar maksudnya. Tapi aku ingin dia menjawab bukan membiarkan aku berargumentasi sendiri seperti ini. Sayangnya jawabannya tak seperti harapanku. “Rin nanti aku akan meneleponmu lagi ya, dah”. Tut.


Kini aku sudah tahu alasan Abin tak ke Jakarta. Sayangnya aku belum sempat mendengar alasan ia tak memperbolehkan aku berkunjung ke Malang. Apakah ia sudah mulai bosan denganku? Ah tidak mungkin Abin seperti itu. Jangan berpikiran bodoh seperti itu Rin. Tapi kali ini aku benar-benar merindukannya dan ingin tahu keadaannya. Biar bagaimanapun juga aku harus ke Malang. Sekalipun Abin akan membenci kehadiranku, aku tak peduli. Bukankah dengan begitu, akan terjawab bagaimana hubungan kami kedepannya.

Tak menunggu waktu lama, keesokan harinya aku bergegas ke Malang dengan kereta kelas ekonomi. Tentu saja dengan meminta izin kedua orangtuaku terlebih dahulu. Mereka sudah kenal betul bagaimana Abin, jadi tak mungkin bila mereka melarangku.

Aku sudah sampai di Malang dan kini sedang rebahan di hotel tempatku menginap. Ingin rasanya aku menghubungi Abin. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Lagipula hari ini aku benar-benar lelah dan hanya ingin beristirahat. Beginilah nasib kalau orang tak bisa berpergian jauh. Tak lama, akupun mulai terlelap.


Sudah beberapa kali aku mencoba menelepon Abin, tapi tak ada jawabannya. Akhirnya akupun memberanikan diri untuk mengiriminya pesan.
Bin, sekarang aku di Malang. Aku tahu kau pasti marah karena aku tak memberitahumu sebelumnya. Aku minta maaf. Kalau tidak sibuk, telepon aku ya, Bin..

Beberapa menit kemudian, Abin meneleponku. Suaranya terdengar kaget. Tentu saja karena kedatanganku yang tiba-tiba ini. Dan seperti dugaanku, Abin tak bisa menemuiku karena kesibukannya. Tapi ia berjanji akan bertemu denganku besok. Entahlah, bahkan janjinya kini sudah tidak bisa aku pegang. Lalu bagaimana denganku hari ini? Sudah jauh-jauh ku kesini sungguh sayang kalau hanya mengurung diri di kamar. Lebih baik sekarang aku berkeliling menikmati udara kota Malang yang sungguh segar ini.

Akupun berhenti pada satu kedai kopi dipinggir jalan. Sepertinya enak kalau dingin-dingin menyeruput kopi panas. Suasananya begitu nyaman. Setelah memesan secangkir Macchiato Grande, akupun duduk pada kursi yang menghadap ke jalanan. Suasana seperti ini jarang sekali aku rasakan. Akupun tersadar, sudah beberapa bulan terakhir aku terlalu menyibukan diri dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Abin sampai lupa bagaimana rasanya menikmati waktu sendiri bersama kopi seperti ini.

“ Permisi mbak..” terdengar suara seseorang dari belakangku. Akupun menoleh dan menemui pelayan kedai itu mengulurkan buku ditangannya kepadaku “ Maaf, ini punya mbak bukan ya? Sepertinya tadi ketinggalan di kasir” tanyanya ramah. Aku mengerutkan kening, karena seingatku aku tidak membawa buku tersebut. Namun, sedetik kemudian aku tersadar bahwa buku itu aku beli tadi dipinggir jalan yang rencananya akan aku berikan kepada Abin. “ oh iya benar mas ini punya saya. Terimakasih banyak ya” jawabku seraya mengambil buku itu. “jadi mbak anak FISIP? Saya juga hehehe” tanyanya antusias. “ hah? Tidak mas, saya anak komunikasi. Buku itu mau saya berikan ke teman saya yang kebetulan anak FISIP” aku mencoba menjelaskan. “ oh... saya kira mbak. Oh iya, mbak kuliah dimana memangnya?”. “ saya kuliah di Jakarta mas, disini saya cuman sedang berkunjung saja” “mas masih kuliah? Jadi kerjanya paruh waktu?” lanjutku. “ yaa begitulah mbak, habisnya saya bingung mau mengisi waktu luang dengan apa. Oh iya mbak, nama saya Farid. Salam kenal ya, saya permisi dulu mbak” pamitnya dengan senyum lebar.


Aku sengaja tidak menagih janjinya yang kemarin. Aku ingin Abin mempertanggung jawabkan ucapannya. Sayangnya sampai siang ini pun tak ada kabar darinya. Sudah pasti skripsinyalah yang menjadi alasan. Tapi kalau aku hanya menunggu seperti ini, percuma juga. Lebih baik aku kembali ke Jakarta. Dari awal juga kan tujuanku kesini untuk bertemu dia. Tak disangka-sangka Abin mengirimiku pesan. Dia memberitahu kalau sekarang dia sedang menungguku di kedai kopi...loh ini kan kedai kopi yang kemarin aku kunjungi! Kalau begitu akan dengan mudah aku menemukannya. Akupun langsung berdandan sebelum akhirnya menuju kesana. Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai disana. Dari luar aku bisa melihat Abin sedang duduk di pojok ruangan. Matanya hanya tertuju pada laptop yang dibawanya. Apa disaat seperti ini dia masih sempat untuk mengerjakan tugas? Sungguh menjengkelkan.

Ku hampiri Abin. Wajahnya tersenyum bahagia saat melihatku sedang berdiri didepannya. Air mataku pun pecah dibuatnya. Abin memelukku erat, sebelum aku menyadarkannya kami sedang di tempat umum. Kini aku duduk disampingnya. Bibir kami tak henti-hentinya bercerita tentang setahun tanpa pertemuan. Tak lupa ku berikan buku yang kemarin di beli. Tentu saja dia menerima baik pemberianku. Sampai akhirnya Abin melihat bahwa sejak tadi aku belum memesan minuman. Abin pun berjalan menuju kasir. Dia tahu betul minuman kesukaanku sehingga tidak perlu menanyakannya terlebih dahulu. Rasa kesal yang sejak kemarin ku tahan kini sirna sudah. Semua itu karena wajahnya. Sejak pertemuan pertama kami, senyuman Abinlah yang sudah mencuri hatiku. Dan kini, meskipun sudah dua tahun, rasa itu tidak pernah berkurang.

Mataku tertuju pada laptop yang masih menyala. Kemudian aku teringat kami sering sekali foto di laptop bersama saat itu. Iseng, aku pun membuka foto-fotonya. Aku baca deretan folder tersebut, dan aku tertarik pada salah satu folder dengan judul “J”. Apapun isinya, Abin pasti sangat menyukainya. Setelah kubuka, satu persatu foto mulai bermunculan. Awalnya aku berpikir itu foto kami berdua. Sampai akhirnya aku sadar, kalau kami tidak pernah berfoto bersama seperti itu. Ragu, aku beranikan untuk membuka fotonya agar terihat lebih jelas. Terpampanglah disana, Abin bersama wanita lain foto begitu dekat...sangat dekat. Sehingga tidak mungkin kalau hanya teman biasa. Ku perhatikan baik-baik fotonya. Sepertinya aku mengenal tempat itu. Restoran dimana Abin selalu ingin kunjungi saat di Jakarta. Dan saat ku lihat tanggal pengambilan fotonya... itu dua hari yang lalu. Jantungku mulai berdegup tak karuan. Tanganku kini mulai gemetar. ku kuatkan diri untuk membuka foto yang lain. Dan ternyata hampir semua foto itu diambil didaerah Jakarta. Dan yang lebih mengejutkan, tanggalnya adalah bukan tanggal kunjungan Abin ke Jakarta. Air mataku mulai menetes. Apa maksud semua ini? Ku biarkan foto itu tetap terbuka dan kutunggu Abin yang kini mulai berjalan ke meja kami.

Abin menyadarinya ketika ia hendak melanjutkan tugasnya.  Aku masih saja menunduk. “ aku akan mendengarkan penjelasanmu, jadi silahkan bicara” kataku mencoba menahan tangis. “ Rin...” Abin menggenggam tanganku. “kamu tidak bisa menjelaskan? Kalau begitu biar aku yang menerka. Mungkinkah selama ini kau tidak benar-benar kuliah di Malang dan justru di Jakarta? Wanita itu... pacarmu? Apakah aku benar? kenapa kau tega seperti ini? Bahkan aku merasa seperti orang asing sekarang. Karena aku tak tahu apa-apa tentang dirimu.” Aku berlari keluar dan bergegas menaiki motor pelayan kedai kopi itu yang sepertinya akan mengantar pesanan. “aku mohon cepatlah mas, nanti aku pasti bayar jasa ini.” kataku dengan isak tangis tak karuan.

...
Sudah dua tahun sejak pertemuan terakhirku dengan Abin. Abinaya Basupati, nama yang indah. Kini kami berdua dipertemukan kembali di acara reuni sekolah. Namun, sampai acara selesai diantara kami tidak ada tegur sapa. Aku berdiri didepan pintu. Tak di sangka Abin menghampiriku “ bagaimana kabarmu, Rin?”sapanya dengan senyum lebar. Senyum yang pernah meluluhkan hatiku. Aku hanya terdiam. Seseorang menghampiriku dari arah parkiran. Dia kini berdiri disampingku. Sesaat aku tersenyum. “Kenalkan Abin, ini Farid. Dan Farid, ini Abin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar