Tidak Ada Apapun


Tidak ada apapun yang dapat ku hirup,

kecuali harummu.

Tidak ada apapun di balik saku jaketku,

kecuali senandungmu yang ku selipkan diam-diam

Tidak ada apapun di atas meja belajarku,

kecuali tulisan-tulisan tidak masuk akal perihal kamu.

Tidak ada apapun yang dapat ku eja

kecuali mendefinisikan dirimu.

Tidak ada apapun di langit-langit kamarku,

kecuali raut wajahmu.

Tidak ada apapun yang sanggup ku tulis

kecuali dialog-dialog yang sulit ku utarakan.

Tidak ada apapun yang membuat dadaku sesak

kecuali suaramu ketika kita berbincang.

Tidak ada apapun yang membuatku tersenyum tiba-tiba

kecuali melihat bibir itu.

Tidak ada apapun yang memudarkan pandanganku,

kecuali matamu.

Tidak ada apapun di dalam ingatanku,

kecuali kamu.


(anna, 2017)

Mari Menciptakan Pagi Lebih Banyak




Pagi ini aku duduk sendiri ditemani kopi panas yang ku buat sederhana. Asapnya tidak mengepul lama seperti biasanya. Ahh.. aku tahu. Ini Batu. Kamu harus tahu dinginnya. Delapan belas derajat celcius! Aku yakin kamu yang sedang selimutan di kamar dengan pendingin udaramu saja tidak akan tahan di pagi hari dengan suhu semacam itu. Aku aneh memang, tapi aku suka suhu itu disini sekarang. Tepat aku menulis ini.

Kamu tahu?
Pemandangan disini benar-benar mengistirahatkan mata. Aku coba mengabadikannya dengan ponsel, tapi sayang ternyata mata memang yang terbaik. Jadi maaf saja jika aku tidak membawakanmu oleh-oleh. Tulisan ini saja untukmu, sayang.

Aku masih duduk disini, sendiri. Sejak pagi buta aku mendengar suara mesin motor mereka yang akan bertani. Ramai sekali, memang. Sejak pagi pula aku melihat banyak anak SD berlalu lalang hendak sekolah. Benar-benar banyak. Aku sedang tidak bohong. Ah.. jangan-jangan beberapa tahun silam sempat ada ‘kegiatan’ massal? Dan ini buah yang mereka petik hahaha. Aku hanya bergurau.

Sayang..
Semenjak hampir dua tahun aku tinggal di ruang petakan di tengah-tengah pemukiman padat penduduk, aku sudah lama tidak mendapatkan pagi semacam ini. Mungkin jika kostku ada di tempat seperti ini, aku yakin saat ini aku sedang mulai menyusun skripsi. Nilai kuliahku pasti maksimal. Hmm..mungkin.

Tapi jujur sayang..
Aku ingin menciptakan pagi lebih banyak disini. Rasanya tidak ingin melewati pagi terakhirku disini besok. Alarm jam 5 pagi sepertinya tepat agar aku bisa melihat matahari muncul. Pasti indah, iya kan?

Kamu yang berkali-kali aku sebut sayang..
Mari kita menciptakan lebih banyak pagi disini. Aku yakin, jika kamu disini pun pasti berpikiran sama denganku. Aku berani bertaruh apapun. Benar kan kataku? Pagi memang terlalu indah untuk dilewati. Kalau aku punya kekuatan lebih pun akan aku ciptakan pagi lebih banyak. Yaaa.. supaya kalau aku ketiduran, aku masih punya pagi cadangan hahaha.

Yang tersayang..
Menikmati pagi sendiri itu memang menyenangkan. Aku bisa melamun, mendengar suara ayam, bertukar senyum dengan mereka yang lewat. Ahh.. pokoknya apapun. Menulis ini misalnya. Tapi sayang.. sekalipun menyendiri itu menyasyikan, aku ingin pagi-pagi yang lain ada yang menemani ku berbincang. Sambil menikmati kopi panas atau teh hangat. Tenang, nanti aku yang buat. Terpenting adalah kamu ada disini dulu. Menemaniku berbincang tentang bagaimana aku mengagumi pagi. Bagaimana aku mencintai dingin sementara aku punya alergi tergadap itu. Aku ingin bercerita apapun. Sebab dengan begitu aku tidak perlu menulis ini. tidak perlu membiarkan orang-orang membaca tulisan yang kubuat untukmu.


Masih banyak hal tentang pagi disini yang belum kutulis. Dan mungkin butuh waktu sampai siang, sampai pagiku habis untuk menyelesaikannya. Tapi kamu tahu pasti kan apa yang harus dilaksanakan setelah minum kopi ketika udara dingin? Ahh toilet sudah memanggilku. Sebelum aku menyudahi ini, satu yang pasti sayang. Aku benar-benar ingin menciptakan pagi semacam ini lebih banyak, denganmu.


Junggo, Batu
6 Mei 2017

Bianglala


Bianglala itu tinggi, katamu

Tenang di setiap gerakannya

Putarannya mungkin sebuah masa

atau ingatan waktu kecil yang menumpang

//

Hanya kita berdua

Duduk berhadapan

Kamu sibuk menghitung lampu yang bertebaran

Sementara aku mengindahkan wajahmu

diantara cahaya yang luput kedalam jendela

Bianglala itu gelap, kataku.

//

Bianglala itu pemaki, katamu.

Aku setuju.

Mungkin curam dan menjadi asing

Lantas aku kau biarkan menebak

wajah seperti apa dihadapanku

 
(Anna, 2017)


Masihkah kau merindu, Tuan?



Bagaimana pagimu, Tuan?
Semoga tidak ada lagi kecewa yang kau hempaskan
Masihkah kau merindu?
tidak apa, kerinduan pantas dimiliki orang sepertimu
Sayang, kini kisahnya bukan tentang dirimu lagi
Bersabarlah
Sebab rindu pantas dimiliki orang sepertimu
Begitu pula dengan kecewa


anna, 2016

Tidak Untuk Malam Ini


Malam ini secangkir kopi bukan kawanku
Sebab ia membuatku terjaga
Aku sedang tak ingin memikirkanmu

Malam ini aku tak sudi disapa angin
Sebab ia membelai lembut mataku
Aku sedang tak ingin memimpikanmu

Malam ini jangan bawakan aku buku
Sebab isinya hanya omong kosong
Aku sedang tak ingin membaca hatimu

Malam ini jangan temui aku
Biar aku yang menepuk pundakmu
Tapi nanti
Kala aku lelah merindukanmu

Anna, 2016 

pict: favim.com

Pergi

Terakhir kali aku melihatnya di sana.
Iya, masih di sana.
Dia tepat di sebelahku.
Kemudian aku beranjak sebentar.
Sekedar bercakap dengan yang lain.
Dan saat aku kembali, 
ku temui dia sudah tak ada.

Bukankah itu dia?
Tapi sedang apa dia di sana?
Begitu akrab dengan seseorang.
Mungkinkah kembali lagi?
Tidak kusangka secepat ini.
Kini aku hanya termangu.  

Abinaya (Cerpen)




Sudah hampir setahun, Abin tak berkunjung ke Jakarta. Padahal biasanya ia selalu rutin menemuiku setiap tiga bulan sekali. Bahkan sekalipun hanya sekedar bertatap muka. Kami memang saling menelepon, tapi tak pernah berani untuk kutanyakan soal itu. Aku takut, pertanyaan itu akan menjadi beban baginya. Karena yang ku ingat, dia pernah bercerita untuk mulai menulis skripsinya dalam waktu dekat ini. Mungkin itu alasannya. Saat itu, Abin juga pernah sekali tak mengunjungiku hampir 6 bulan, dan dia menceritakan alasannya. Karena bagaimanapun juga, ‘ke Jakarta’ bukanlah hal yang bisa ia lupakan begitu saja. Pasti ada yang tidak beres dengannya kali ini.

Video call dari Abin membuyarkan lamunanku. “Hai Rin, bagaimana harimu tadi?” “Kau pasti bercanda. Kau ingatkan hari apa ini?” jawabku jengkel. “Oh iya aku lupa. Selasa kan musuhmu hahaha. Lagipula mau sampai kapan sih Rin kamu membenci mata kuliah hari ini?”tanya Abin. “tentu saja sampai dosen itu musnah dari kampusku atau kalau bisa dari muka bumi ini” mataku tertuju pada buku-buku yang berantakan di lantai tepat dibelakang dia “Bin... kamu sudah mulai skripsi ya?”. “hmm... begitulah Rin. Memangnya kenapa? Suaramu terdengar kecewa” Abin mendekatkan wajahnya ke layar laptop. “ begini... apa itu artinya kau tidak akan ke Jakarta dalam waktu dekat ini?” tanyaku ragu. Abin hanya terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia mulai bicara “ maaf Rin, sepertinya untuk beberapa bulan ini aku ingin mulai fokus mengerjakan skripsiku. Kau paham kan maksudku? Tak apa kan Rin?”suaranya terdengar penuh sesal. “kalau begitu bagaimana kalau aku yang berkunjung ke Malang? Sudah lama aku ingin sekali kesana. Bagaimana? Ya sekalian menemanimu mengerjakan skripsi”. Abin tak menjawab, dia hanya menunduk untuk beberapa saat. Dari caranya, aku tahu benar maksudnya. Tapi aku ingin dia menjawab bukan membiarkan aku berargumentasi sendiri seperti ini. Sayangnya jawabannya tak seperti harapanku. “Rin nanti aku akan meneleponmu lagi ya, dah”. Tut.